Selasa, 17 Julai 2012

Sosiolinguistik



Materi Kuliah Ke-2,  Sosiolinguistik II                              Oleh: Sailal Arimi, S.S., M.Hum

TIU: Mengambil manfaat studi Sosiolinguistik pada realitas kehidupan sosial di masyarakat, dapat menjelaskan hubungan antara bahasa dan masyarakat dan mampu melakukan penelitian sederhana di bidang ini.
TIK: Memahami konsep masyarakat bahasa dalam perspektif etnografi komunikasi, memahami klasifikasi etnografi berbicara, memahami satuan-satuan interaksi sosial.


TOPIK: MASYARAKAT BAHASA DAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI


1. Masyarakat Bahasa dan Redefinisinya
Salah satu asumsi pokok kelahiran Sosiolinguistik sebagai cabang ilmu Bahasa adalah bahwa masyarakat bahasa bersifat heterogen, baik antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya, atau pula di antara anggota dalam masyarakat bahasa yang sama. Heterogenitas itu ditandai oleh berbagai perbedaan sosial seperti status sosial, peran sosial, jenis kelamin, umur, latarbelakang etnik, lingkungan, pendidikan, dan agama. Ada perkembangan yang cukup berarti setelah dua dekade belakangan ini mengenai batasan masyarakat bahasa. Bagi Dell Hymes (1972), masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi bahasa yang sama. Hymes memandang bahwa syarat aturan (rules) dan variasi (variety) yang sama harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, jika ia ingin diakui dalam lingkup masyakarakat bahasa yang sama.
Pandangan di atas mulai bergeser ketika orang sudah dapat mengerti satu sama lain walaupun mereka menggunakan aturan dan variasi yang berbeda. Pergeseran ini terjadi akibat desakan zaman yang umum dikenal sebagai globalisasi atau pensejagatan yang benar-benar tidak terbendung lagi. Penduduk dengan segala atribut yang mengikutinya, tidak terkecuali bahasa, berpindah secara geografis atau maya dalam ruang yang nyaris tidak berbatas. Teknologi transportasi yang canggih telah memudahkan orang berpindah tempat, dan teknologi maya yang super canggih telah pula memudahkan orang untuk berkomunikasi tanpa harus bergerak dari tempat tinggalnya. Web pengetahuan bahasa lokal, regional, maupun internasional semakin bertambah dalam pikiran orang-orang yang menggunakan jasa teknologi di atas, bahkan orang-orang semacam ini semakin lama semakin banyak jumlahnya. Walaupun realitas akan terus bergerak, namun definisi masyarakat bahasa pun sewajarnya diredefinisi seperti dikemukakan Spolsky (2003: 24) bahwa aturan-aturan itu bisa saja sama atau berbeda. Baginya, ketika semua orang berbicara dalam satu bahasa dengan menggunakan fonologi dan tatabahasa yang sama atau berbeda secara bersama-sama, ketika itu mereka dapat dikategorikan sebagai satu kelompok masyarakat bahasa. Tentunya bahasa yang digunakan tidak menjadi kendala terhadap pemahaman mereka satu sama lain. 
Batas-batas yang semakin mencair sebenarnya menyulitkan orang untuk mengidentifikasi secara persis si A termasuk anggota masyarakat bahasa A, dan si B termasuk anggota masyarakat B karena fenomena seseorang menjadi multilingual sekaligus multikultural sekarang ini sangat mungkin terjadi. Fenomena yang terus bergulir ini semakin menemukan titik terang terhadap asumsi awal kaum sosiolinguis yang bersikukuh bahwa masyarakat bahasa tidak pernah ideal dalam sifat kehomogenan, sebaliknya masyarakat bahasa selalu heterogen, bahkan mutlak heterogen. 
Yang menarik dari heterogenitas itu adalah bahwa realitas perbedaan sosial memberi atau memperoleh dampak pemakaian bahasa. Semua dampak yang ditimbulkan dalam pemakaian bahasa ini dipelajari dalam kerangka etnografi komunikasi. Dalam studi sosiolinguistik, etnografi komunikasi ini merupakan akses untuk meneliti fenomena kebahasaan lebih mendalam karena dalam upaya pemerian komunikasi inilah terkandung unsur-unsur bahasa yang dituturkan secara alami (naturally occuring language) berikut dengan segenap konteks yang mempengaruhinya. Clifford Geertz, antropolog dunia yang terkenal karena banyak penelitiannya dilakukan di Jawa, menyatakan bahwa untuk memahami sebuah ilmu yang pertama harus diamati bukanlah teori-teori atau hasil penemuannya, bukan pula pembelaannya, tetapi lihatlah apa yang dilakukan oleh pemakai ilmu itu. Apa yang dilakukan mereka adalah etnografi. Dalam konteks ilmu antropologi, etnografi yang dimaksud adalah sebuah deskripsi perilaku dalam sebuah kebudayaan tertentu yang dihasilkan dari kerja lapangan (fieldwork). Lebih spesifik, Geertz berpendapat bahwa etnografi adalah upaya menginterpretasikan makna suatu perilaku yang mengacu pada pengelompokan budaya tempat perilaku itu dihasilkan, dirasakan, dan ditafsirkan. Konsep-konsep ini tentunya sangat bermanfaat menjadi dasar dalam kajian Sosiolinguistik berikutnya.

2. Etnografi Komunikasi dan Etnografi Berbicara
            Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing). Pemakaian tuturan Apa khabar?, Comment alle vous? (bahasa Perancis), Hoe gaat het? (bahasa Belanda) dengan arti yang sama tentu saja berbeda modus kemunculannya dengan tuturan Dengan hormat, Dear Sir, Beste Meneer, Hormat kami, sincerely yours. Kelompok tuturan pertama terjadi dalam modus lisan, sebaliknya kelompok tuturan kedua hanya muncul dalam modus tulis. Kedua modus ini juga sangat berbeda dengan modus komunikasi isyarat, bahasa tubuh atau tanda yang menggunakan anggota badan atau alat. Orang Indonesia  akan menganggukkan kepalanya untuk menyatakan makna setuju, tetapi orang India justru mengayunkan kepala dengan membentuk gerakan angka 8 untuk makna yang sama. Orang Tibet menggesek-gesekkan hidungnya dengan hidung teman untuk menyatakan selamat datang,  sedangkan orang Indonesia melakukan hal yang sama dengan saling berjabat tangan. Menariknya lagi, Orang Tibet akan menjulurkan lidahnya sebagai sapaan untuk menyambut tamu, yang bagi orang Indonesia tindakan demikian diartikan mengejek. Sebaliknya sapaan untuk menyambut tamu orang Indonesia menyatakan selamat datang sambil mempersilahkan masuk dan seterusnya.  Kalau orang Indonesia menjulurkan tangannya ke bawah sambil berjalan membungkukkan badan pertanda ia meminta permisi untuk minta lewat di hadapan orang lain, tetapi bagi orang Arab, mereka justru memegang kepala orang yang dilewatinya. Orang Jepang menggenggam keempat jemarinya kecuali kelingking untuk menyatakan makna perempuan, sebaliknya orang Indonesia mengartikan tindakan demikian sebagai pernyataan anggap remeh atau enteng terhadap seseorang atau sesuatu hal.
Di samping contoh-contoh di atas, tentunya masih banyak lagi komunikasi nonverbal yang terdapat sebuah masyarakat bahasa.  Hampir semua anggota badan dapat mengkomunikasikan makna tertentu sesuai dengan apa yang dipahami masyarakatnya. Demikian pula pemakaian alat atau benda-benda juga memberi arti tersendiri bagi sebuah masyarakat tertentu. Pakaian berwarna putih yang dikenakan seorang perempuan india misalnya dimaknai sebagai pernyataan ditinggal mati sang suami. Penggunaan pluit untuk mengirimkan pesan morse juga termasuk dalam kategori ini.
Perbedaan mendasar antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dalam hal komunikasi lisan, tulis, isyarat, gerakan tubuh, dan tanda turut membangun kaidah-kaidah bahasa. Selain itu, prinsip dasar etnografi komunikasi juga memerikan perbedaan aturan berbicara (rule of speaking), misalnya kapan harus berbicara dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Aturan berbicara ini bisa sangat berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kebanyakan Orang Amerika Kulit Putih Kelas Menengah mematuhi kaidah pergantian percakapan “no gap, no overlap” (tidak ada kesenyapan, tidak ada tumpang tindih) (Schegloff, 1972). Dalam sebuah percakapan, mereka berbicara saling bergantian agar tidak tumpang tindih. Jika yang satu berbicara, yang lain mendengarkan. Kaidah percakapan ini disebut “no overlap.” Sebaliknya, jika keduanya diam lebih dari beberapa detik,  mereka justru tidak merasa nyaman. Seseorang akan mengisinya dengan percakapan yang tidak penting agar “tidak ada gap” dalam komunikasi tersebut.  Reisman (1974) menemukan kaidah yang berbeda pada masyarakat Antigua. Mereka cenderung berbicara saling tumpang tindih. Yang satu berbicara yang lain menimpali pada saat yang sama. Dengan cara ini, mereka tidak mengikuti kaidah percakapan yang “no overlap.”  Saville-Troike (1982) melaporkan bahwa  orang Indian Amerika justru biasa menunggu beberapa menit sebelum seseorang menjawab pertanyaan atau mengambil alih pembicaraan. Demikian pula halnya dengan masyarakat Lapp di Swedia Bagian Utara tempat Reisman (1974: 112) tinggal.  Gap percakapan sudah menjadi bagian dari cara berbicara mereka.
            Penjelasan di atas menunjukkan bahwa etnografi komunikasi adalah semua bentuk pemerian komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal. Dalam kajian kebahasaan pada umumnya, hanya tuturan verbal yang diperlakukan sebagai objek kajian sedangkan sisanya dianggap sebagai konteks. Pemerian pemakaian tuturan verbal saja disebut etnografi berbicara, dalam hubungan ini modus komunikasi tulis juga dikategorikan objek kajian sosiolinguistik karena media cetak juga memberi perbedaan pada pemakaian bahasa. Dalam wacana yang lebih umum, bahasa tulis, kendatipun berbeda, sebenarnya merupakan bentuk pencatatan dari komunikasi lisan. Dewasa ini etnografi komunikasi boleh saja dipandang sebagai bentuk perluasan dari etnografi berbicara, namun aspek-aspek nonverbal tadi sekali lagi hanya diperlakukan sebagai konteks yang mempengaruhi makna tuturan. Akibatnya, aspek-aspek nonverbal tersebut tidak menjadi tujuan dalam penelitian sosiolinguistik. 
            Menurut Hymes (1962/1968: 101), ada empat hal pokok yang diuraikan dalam sebuah etnografi berbicara, yaitu pemerian situasi, pemakaian, struktur, dan fungsi aktivitas berbicara tersebut. Namun demikian, di balik pendekatan struktural-fungsional yang disarankan Hymes tersebut, hakikat etnografi bagi Milroy (1987: 172) bertujuan menyelidiki aturan-aturan berbicara (rules of speaking). Aturan-aturan berbicara ini dianalisis berdasarkan faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pemilihan kode bahasa.
            Aturan berbicara (rules of speaking) sebaiknya dibedakan dengan norma bicara (norms of speaking). Walaupun keduanya menjadi lahan pemerian sebuah pendekatan etnografi, namun fungsinya bagi pemakai bahasa juga berbeda.  Norma berbicara sesuai namanya dapat dipahami sebagai etika yang membatasi bagaimana komunikasi yang diinginkan, tepat atau tidak tepat, pantas atau tidak pantas sesuai konteksnya. Oleh karena itu, norma berbicara diperlukan pemakai bahasa sebelum berbicara, dan norma ini menjadi pengetahuan praktis pemakainya. Di sisi lain, aturan berbicara merupakan hasil akhir kajian terhadap aktivitas berbicara. Sebagaimana ditandaskan sebagai tujuan etnografi bagi Milroy, norma menjadi bersifat teoretis dan ia berada di luar kemampuan pemakaian bahasa. Dengan kata lain, norma berbicara adalah aspek internal bahasa, sedangkan aturan atau kaidah bahasa merupakan aspek eksternal bahasa.
            Disimak dari teori fungsi yang banyak dikemukakan para ahli, fungsi bahasa terpokok dapat diperas menjadi dua, yaitu fungsi interaksional dan fungsi ideasional, yang pertama berfungsi untuk membina atau mempertahankan hubungan sosial dan yang terakhir berfungsi untuk menyampaikan informasi atau gagasan. Sejalan dengan dengan fungsi bahasa ini,  aktivitas berbicara seyogyanya pula dapat diformalkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk fatis dan bentuk pikiran. Klasifikasi dikotomis semacam ini tidak bertentangan dengan pendapat Bronislaw Malinowski (1949) yang mengatakan bahwa aktivitas berbicara yang pertama lebih menekankan pada modus aksi (mode of action), sedangkan aktivitas berbicara yang kedua cenderung menekankan modus kognisi (mode of thought).  
            


Majlis Raja-Raja 
Majlis Raja-Raja merupakan sebuah badan rasmi yang ditubuhkan mengikut Perkara 38 Perlembagaan Persekutuan Malaysia sebagai tempat bagi Raja-Raja dan Yang di-Pertua - Yang di-Pertua Negeri bertemu dan berbincang. Dalam beberapa perkara yang tertentu, Perlembagaan Persekutuan memperuntukkan kerajaan supaya memperoleh  nasihat daripada Majlis Raja-Raja. Urusan pemilihan dan pelantikan Yang di-Pertuan Agong juga terletak pada Majlis Raja-Raja. Selain itu, majlis ini merupakan kuasa tertinggi dalam hal ehwal Islam di Malaysia.
Majlis ini dianggotai oleh semua sembilan Raja Melayu dan empat Yang di-Pertua Negeri di Malaysia. Mengikut peraturan hanya Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Raja-Raja sahaja yang layak mempengerusikan mesyuarat dan dipengerusikan mengikut giliran yang ada dalam susunan sebagaimana yang ditetapkan oleh majlis. YAB Menteri Besar / Ketua Menteri hadir sebagai penasihat kepada DYMM Raja-Raja dan TYT Yang di-Pertua - Yang di-Pertua Negeri masing-masing. Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong hanya berangkat hadir pada mesyuarat hari kedua dengan diiringi oleh YAB Perdana Menteri sebagai penasihat. Hal Ini menjadikan mesyuarat tersebut sebagai mesyuarat ‘tertinggi’ di Malaysia. Walau bagaimanapun, Yang di-Pertuan Agong biasanya hanya hadir jika mesyuarat tersebut akan melantik Yang di-Pertuan Agong atau Timbalan Yang di-Pertuan Agong yang seterusnya atau mesyuarat untuk membincangkan polisi negara. Timbalan Perdana Menteri tidak tergolong dalam Majlis Raja-Raja.
Penyimpan Mohor Besar Raja-Raja dilantik sebagai setiausaha Majlis Mesyuarat Raja-Raja.

Sejarah majlis Raja-Raja
Sejarah Majlis Raja-Raja bermula dengan penubuhan Majlis Raja-Raja Melayu bagi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Pada 1 Julai 1896, Negeri-Negeri Melayu Bersekutu yang terdiri daripada Negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang telah ditubuhkan. Sehubungan dengan itu, satu Majlis Raja-Raja Melayu bagi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu telah ditubuhkan untuk membincangkan hal-ehwal dan kepentingan bersama dengan pemerintah Inggeris.
Mesyuarat Pertama Majlis Raja-Raja Negeri Melayu Bersekutu, atau lebih dikenali sebagai Mesyuarat Durbar telah diadakan pada 13 - 17 Julai 1897 di Istana Negara, Bukit Chandan, Kuala Kangsar,Perak. Durbar timbul daripada perkataan Urdu-Parsi (Darbar) yang membawa maksud istana raja. Durbar juga bermaksud perjumpaan atau persidangan umum yang diadakan oleh Raja-Raja ataupun gabenor atau wizurai British di India pada masa dahulu.
Raja-Raja Melayu yang hadir dalam mesyuarat Durbar tersebut ialah DYMM Sultan Idris Murshidul Aadzam Shah (Negeri Perak), DYMM Sultan Abdul Samad (Negeri Selangor), DYMM Tuanku Muhammad (Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan), dan DYMM Sultan Ahmad (Negeri Pahang).
Pihak Inggeris pula diwakili oleh Sir Charles Mitchell, Gabenor Negeri-Negeri Selat dan Pesuruhjaya Tinggi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu, Sir Frank Swettenham (pengerusi mesyuarat), Residen Jeneral Negeri-Negeri Melayu Bersekutu, Hugh Clifford, Residen Inggeris di Pahang, J.P Rodgers, Residen Inggeris di Selangor dan W.H. Treacher, Residen Inggeris di Perak. Mesyuarat Durbar telah diadakan sebanyak sembilan kali hingga tahun 1939.
Apabila Persekutuan Tanah Melayu ditubuhkan dalam tahun 1948, keahliannya ditambah dengan kemasukan Negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu iaitu Negeri Johor, Kedah, Perlis, Kelantan danTerengganu. Namanya juga telah dipendekkan menjadi Majlis-Raja-Raja. Mesyuarat pertama bagi tempoh ini telah diadakan pada 18 Februari 1948 di Kuala Lumpur dan telah dipengerusikan oleh DYMM Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar, Sultan Johor. Pihak Inggeris diwakili oleh Pesuruhjaya Tinggi Persekutuan Tanah Melayu. Antara Februari 1948 hingga Ogos 1957 mesyuarat Majlis Raja-Raja telah diadakan sebanyak 50 kali.
Selepas Persekutuan Tanah Melayu mencapai kemerdekaannya, negeri Melaka dan Pulau Pinang turut menjadi ahli dan ini diikuti pula oleh Sabah dan Sarawak apabila Malaysia ditubuhkan pada tahun 1963.
Mesyuarat Majlis Raja-Raja yang pertama selepas merdeka telah diadakan pada 30 dan 31 Oktober 1957 dan dipengerusikan oleh DYMM Sultan Syed Putra ibni Almarhum Syed Hassan Jamalullail, Raja Perlis. Mesyuarat Majlis Raja-raja ke-125 pula diadakan pada 15 - 16 Oktober 2008 di Terengganu.

Kuasa Majlis Raja-Raja
Pada 1983, pindaan untuk memindahkan kuasa mengisytiharkan darurat diserahkan kepada Perdana Menteri Malaysia. Bagaimanapun pindaan itu ditolak oleh Majlis Raja-Raja. Sebagai komprominya,Yang di-Pertuan Agong diberi kuasa memulangkan rang undang-undang ke Dewan Rakyat untuk dipertimbangkan semula.[1] Pindaan Perlembagaan 1994 juga tidak mendapat perkenan Majlis Raja-Raja.
Kuasa raja melantik menteri besar merupakan kuasa formal sahaja. Tetapi dalam keadaan tidak menentu seperti di Perlis dan Perak pada 2008, kuasa raja akan menjadi sangat signifikan. Begitu juga di Terengganu dalam pelantikan Menteri Besar Terengganu 2008.

Malaysia  mengamalkan sistem Demokrasi Berparlimen di bawah pentadbiran raja berperlembagaan. Malaysia diketuai oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong yang dipilih daripada sembilan sultan negeri Melayu untuk berkhidmat selama lima tahun sebagai Ketua Negara dan Pemerintah Tertinggi Angkatan Tentera.
Sistem ini berdasarkan sistem Westminster kerana Malaysia merupakan bekas tanah jajahan British. Kuasa eksekutif ditetapkan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Berdasarkan perlembagaan Malaysia, Perdana Menteri mestilah seorang anggota Dewan Rakyat, yang pada pendapat Yang di-Pertuan Agong, memimpin kumpulan majoriti dalam parlimen. Manakala kabinet merupakan ahli parlimen yang dipilih daripada Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Malaysia mengamal sistem parlimen dwidewan: Dewan Rakyat dan Dewan Negara. Dewan Negara mempunyai 70 orang yang terpilih selama 3 tahun. Pemilihan ahlinya boleh dibahagikan kepada dua, iaitu 26 ahli dipilih oleh Dewan Undangan Negeri sebagai mewakili 13 negeri. Seramai 44 ahli lagi dilantik oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong atas nasihat Perdana Menteri, termasuk dua ahli dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, dan satu ahli masing-masing dari Wilayah Persekutuan Labuan dan Putrajaya.
Dewan Rakyat pula mempunyai seramai 222 ahli, dan setiap ahli mewakili satu kawasan pilihan raya. Ahli-ahli dipilih atas dasar sokongan ramai melalui pilihan raya. Setiap ahli Dewan Rakyat memegang jawatan selama 5 tahun, dan selepas itu pilihan raya yang baru akan diadakan.
Kuasa perundangan dibahagi antara kerajaan persekutuan dan kerajaan negeri. Kuasa ini ditentukan oleh parlimen. Undang-undang tertinggi ialah Perlembagaan Malaysia dan ini memerlukan majoriti dua pertiga untuk diubah.  Undang-undang kedua ialah undang-undang syariah yang menumpukan kepada orang Islam di Malaysia. Sultan merupakan ketua agama Islam dan kuasa ini tertakluk kepada baginda kerajaan negeri. (tidak memeranjatkan, undang-undang syariah ini agak berbeza mengikut negeri)

Yang di-Pertuan Agong
Yang di-Pertuan Agong ialah gelaran rasmi ketua negara Malaysia. Gelaran rasmi yang penuh ialah Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong.
Oleh sebab Malaysia mengamalkan sistem raja berperlembagaan, peranan Yang di-Pertuan Agong kebanyakannya hanyalah sebagai istiadat. Perlembagaan menyatakan dengan jelas bahawa kuasa eksekutif, secara teorinya di bawah kuasa ketua negeri, dilaksanakan oleh (atau dengan nasihat) Kabinet atau Jemaah Menteri yang diketuai oleh Perdana Menteri[1].
Jawatan Yang di-Pertuan Agong diwujudkan hasil daripada Suruhanjaya Reid yang merangka Perlembagaan Persekutuan.Cadangan jawatan Yang Dipertuan Agong timbul berikutan tentangan terhadap penubuhan Malayan Union yang dilihat ingin menghapuskan Institusi Raja-Raja Melayu.
Pada Ogos 1957, setelah memilih gelaran Yang di-Pertuan Agong dan menolak gelaran Yang di-Pertuan Besar yang dicadangkan sebelum itu, Majlis Raja-Raja telah bersidang untuk mengundi pemegang takhta yang pertama.
Jika menurut tempoh lama memerintah, Major Jeneral Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar (Sultan Johor), yang dilantik menjadi pada tahun 1895, merupakan sultan yang paling lama memerintah, tetapi baginda menolak prlantikan tersebut disebabkan baginda telah lanjut usia (ketika itu baginda berusia 84 tahun).
Yang kedua dalam turutan, Sultan Sir Abu Bakar Riayatuddin Al-Muadzam Shah ibni Almarhum Sultan Abdullah Al-Mutassim Billah Shah (Sultan Pahang), yang memerintah pada tahun 1932, tidak mendapat mandat secukupnya untuk dilantik. Yang lama memerintah seterusnya, Tuanku Abdul Rahman ibni Almarhum Tuanku Muhammad dari Negeri Sembilan, yang menaiki takhta pada tahun 1933, kemudiannya telah dilantik.
Raja-raja yang hadir ketika pertabalan pertama ialah:
1.   Sultan Sir Abu Bakar Riayatuddin Al-Muadzam Shah ibni Almarhum Sultan Abdullah Al-Mutassim Billah Shah (Sultan Pahang; 1932-1974)
2.   Tuanku Abdul Rahman ibni Almarhum Tuanku Muhammad (Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan; 1933-1960)
3.   Al-Marhum Sultan Hisamuddin Alam Shah Al-Haj ibni Almarhum Sultan Alaeddin Sulaiman Shah (Sultan Selangor; 1938-1942, 1945-1960)
4.   Sultan Badlishah ibni Almarhum Sultan Abdul Hamid Halim Shah (Sultan Kedah; 1943-1958)
5.   Sultan Ibrahim Petra ibni Almarhum Sultan Muhammad IV (Al-Sultan Kelantan; 1944-1960)
6.   Tuanku Syed Putra ibni Almarhum Syed Hassan Jamalullail (Raja Perlis; 1945-2000)
7.   Sultan Ismail Nasiruddin Shah ibni Almarhum Sultan Zainal Abidin III (Sultan Terengganu; 1945-1979)
8.   Sultan Yusuf Izzudin Shah ibni Almarhum Sultan Abdul Jalil Nasruddin Shah (Sultan Perak; 1948-1963)
9.   Tunku Ismail ibni Sultan Sir Ibrahim (Tunku Mahkota Johor; menjadi Sultan 1959-1981)

Sistem pemerintahan beraja Malaysia 
Jawatan ini digilirkan setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah Negeri Melayu.
Apabila menjawat jawatan Yang di-Pertuan Agong, seorang kerabat diraja akan dilantik sebagai Pemangku dalam negeri tersebut.

Giliran Negeri
Sistem penggiliran jawatan Yang di-Pertuan Agong setiap lima tahun dianggap unik. Hal ini dikatakan demikian kerana sistem ini menggabungkan tradisi feudal berasaskan keturunan darah dengan konsep moden berasaskan perlembagaan.
Malaysia satu-satunya negara di dunia yang mengamalkan sistem penggiliran ketua negara.
Sistem penggiliran hanya diberikan kepada Raja-Raja Melayu dari negeri yang dulunya dikenali Negeri-Negeri Melayu Bersekutu dan Negeri Melayu Tidak Bersekutu.
Negeri Bersekutu terdiri daripada PerakNegeri SembilanSelangor dan Pahang. Manakala Negeri Melayu tidak bersekutu PerlisKedahKelantanTerengganu dan Johor. Sementara itu Melaka,Pulau PinangSabah dan Sarawak tidak berpeluang walaupun mereka menganggotai Majlis Raja-Raja.
Selepas kitaran pertama sembilan Yang di-Pertuan Agong (1957-1994), aturan menurut pemerintah negeri adalah seperti menurut kitaran yang telah digunakan sebelum itu, iaitu:
2.   Selangor
3.   Perlis
4.   Terengganu
5.   Kedah
6.   Kelantan
7.   Pahang
8.   Johor
9.   Perak

Yang di-Pertuan Agong akan melantik sebagai istiadat iaitu Yang di-Pertua Negeri, atau Gabenor, kepada empat buah negeri Pulau PinangMelakaSabah and SarawakYang di-Pertuan Agong yang ke-13 (sekarang) adalah Sultan Mizan Zainal Abidin ibni AlMarhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah Al-Haj dari Terengganu

Faktor pemilihan
Pemilihan Yang di-Pertuan Agong berdasarkan  sistem giliran yang telah ditetapkan.
Terdapat beberapa faktor yang akan dipertimbangkan oleh Majlis Raja-Raja melalui undi rahsia bagi menentukan pengganti bagi jawatan Yang di-Pertuan Agong seterusnya.
Syarat yang akan diambil kira ialah:
1.   Kekananan dalam kalangan Sultan dan Raja;
2.   Baginda berkenan untuk menjadi Agong;
3.   Tidak mengalami kelemahan atau ketidak upayaan mental;
4.   Merupakan Raja yang berada di kedudukan teratas;
5.   Mendapat sokongan sekurang-kurangnya lima Raja lain; dan
6.   bukan seseorang yang telah memegang jawatan Yang di-Pertuan Agong selama dua 
     penggal berturut-turut.
Faktor lain ialah usia dan tempoh masa pemerintahan dan kalau kita lihat daripada aspek status atau peranan yang dimainkan oleh Yang Dipertua, usia dan tempoh masa pemerintahan seseorang Raja di sesebuah negeri amat penting kerana apabila baginda telah menjalankan pemerintahan dalam tempoh yang lama ini dapat menggambarkan kematangannya terhadap cara pemerintahan.

Kebaikan sistem
Hanya yang terpilih sahaja boleh dipilih iaitu menurut darah keturunan tetapi di dalamnya itu tersemat dan tersisip peraturan yang bercorak demokrasi moden iaitu pemilihan secara moden.
Keunikan tradisinya sejak 1957 , kuasa yang dimiliki oleh Yang di-Pertuan Agong mengatasi segala Raja-Raja Melayu sepanjang tempoh pelantikannya.
Jika dibandingkan dengan England, Ratu Elizabeth II, baginda tidaklah seunik Malaysia kerana sulta atau raja datanghnya daripada  satu keluarga sahaja. Uniknya Malaysia pula, ialah ketua negaranya datang dalam kalangan sembilan Sultan yang memerintah Negeri-Negeri Melayu.

Kuasa sebagai Raja Berperlembagaan
Perkara 181 (1), Perlembagaan Persekutuan menjamin kedaulatan dan kuasa raja terus berkekalan. Perlembagaan telah memperuntukkan beberapa kuasa kepada Yang di-Pertuan Agong. Antaranya ialah baginda diberi kuasa untuk memelihara kedudukan istimewa orang Melayu dan bumiputera di negeri  Sabah dan Sarawak dan menjaga kepentingan-kepentingan sah kaum  lain. Baginda juga berperanan sebagai ketua agama Islam bagi negeri baginda sendiri, Pulau PinangSabahSarawak, dan Wilayah-wilayah Persekutuan. Di samping itu, Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong juga ialah Pemerintah Tertinggi Angkatan Tentera Negara[2].
Di samping itu, Yang di-Pertuan Agong mempunyai peranan penting yang lain dalam kerajaan termasuklah[3]:
1.   Melantik seorang Perdana Menteri
2.   Menangguhkan pembubaran parlimen
3.   Meminta supaya diadakan Mesyuarat Majlis Raja-Raja bagi tujuan membincangkan keistimewaan, kedudukan, kemuliaan, dan kebesaran raja-raja.

Raja-raja yang berikut pernah menjadi Yang di-Pertuan Agong sebelum ini:
1.    Tuanku Abdul Rahman ibni Almarhum Tuanku Muhammad dari Negeri Sembilan, diputerakan pada 1895, memerintah pada 1957-1960, mangkat ketika memerintah pada 1 April 1960.
2.    Sultan Hisamuddin Alam Shah Al-Haj ibni Almarhum Sultan Alaeddin Sulaiman Shah dari Selangor, diputerakan pada 1898, memerintah pada 1960, mangkat ketika memerintah pada 1 September 1960.
3.    Tuanku Syed Putra ibni Almarhum Syed Hassan Jamalullail dari Perlis, diputerakan pada 1920, memerintah pada 1960-1965, mangkat pada 2000
4.    Sultan Ismail Nasiruddin Shah ibni Almarhum Sultan Zainal Abidin III dari Terengganu, diputerakan pada 1907, memerintah pada 1965-1970, mangkat pada 1979
6.    Sultan Yahya Petra ibni Almarhum Sultan Ibrahim Petra dari Kelantan, diputerakan 1917, memerintah pada 1975-1979, mangkat ketika memerintah pada 29 Mac 1979
8.    Baginda Almutawakkil Alallah Sultan Iskandar Al-Haj ibni Almarhum Sultan Ismail dari Johor, diputerakan pada 1932, memerintah pada 1984-1989, mangkat pada 2010
9.    Sultan Azlan Muhibbudin Shah ibni Almarhum Sultan Yusuff Izzudin Shah Ghafarullahu-lahu dari Perak, diputerakan pada 1928, memerintah pada 1989-1994
10. Tuanku Jaafar ibni Almarhum Tuanku Abdul Rahman dari Negeri Sembilan, diputerakan pada 1922, memerintah pada 1994-1999, mangkat pada 27 Disember 2008
11. Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah ibni Almarhum Sultan Hisamuddin Alam Shah Al-Haj dari Selangor, diputerakan 1922, memerintah pada 1999-2001, mangkat ketika memerintah pada 4 Disember 2001
12. Tuanku Syed Sirajuddin ibni Almarhum Syed Putra Jamalullail dari Perlis, diputerakan 1943, memerintah pada 2001-2006

RAJA BERPELEMBAGAAN
  • Raja berperlembagaan bermaksud sistem beraja mengikut perlembagaan. Yang di- Pertuan Agong bertindak menurut nasihat Jemaah Menteri (Kabinet), manakala raja sesebuah negeri bertindak mengikut nasihat Majlis Mesyuarat Kerajaan Negeri (EXCO). Dalam lain perkataan, Yang di-Pertuan Agong ialah Ketua Negara, manakala Perdana Menteri ialah Ketua Kerajaan. Di peringkat negeri pula raja ialah Ketua Negeri, manakala Menteri Besar atau Ketua Menteri ialah ketua kerajaan.
  • Kedaulatan dan kuasa raja berkekalan dan terjamin sebagaimana mengikut perkara 181 (1), Perlembagaan Persekutuan iaitu:
"181.(1) Subject to the provisions of this Constitution, the sovereignty, prerogativies, powers and jurisdicition of the Rulers and the the provisions of this Constitution, the jurisdiction of the Ruling Chiefs of Negeri Sembilan within their respective territories as hitherto had and enjoyed shall remain unaffected".
Kuasa Yang Di- Pertuan Agong: 
  • melantik seorang Perdana Menteri
  • menangguhkan pemubaran parlimen
  • meminta supaya diadakan Mesyuarat Majlis Raja-Raja bagi tujuan membincangkan keistimewaan, kedudukan, kemuliaan, dan kebesaran raja-raja,
  • fungsi-fungsi lain yang dinyatakan dalam Perlembagaan ( Perkara 40 (2)).
Kuasa Raja Negeri:
  • melantik seorang Menteri Besar
  • menangguhkan pembubaran Dewan Undangan Negeri,
  • membuat permintaan bagi mesyuarat Majlis Raja-Raja berkaitan dengan keistimewaan, kedudukan, kemuliaan dan kebesaran Duli-Duli Yang Maha Mulia Raja dan perbuatan, amalan atau upacara agama atau adat istiadat,
  • sebarang fungsi sebagai ketua agama atau berhubung dengan adat Melayu,
  • melantik waris atau waris-waris, isteri, pemangku raja atau jemaah pemangku raja,
  • melantik orang-orang pemegang pangkat, gelaran, kemuliaan dan kebesaran di sisi adat Melayu dan menetapkan berkenaan dengannya,
  • Mengawal selia balai-balai di raja dan istana-istana (Perkara 2, Jadual Kelapan).
"Artikel 16 Fasal 7 Perlembagaan Negeri Perak menyebut seseorang anggota majlis selain MB (Menteri Besar) memegang jawatan atas perkenan Sultan...Dalam situasi di mana orang berkenaan (MB) tidak mahu berundur tetapi kalah, Sultan mempunyai kuasa untuk memecat..."
Prof Dr.Shad Saleem Faruqi, Bernama, 5 Februari 2009

MAJLIS RAJA-RAJA:
  • berfungsi untuk memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang di-Pertuan Agong mengikut peruntukan Jadual Ketiga;
  • mempersetujui atau tidak mempersetujui supaya apa-apa perbuatan, amalan atau upacara agama diperluas ke Persekutuan secara menyeluruh;
  • memperkenankan atau tidak memperkenankan apa-apa undang-undang dan membuat atau memberikan nasihat mengenai apa-apa pelantikan yang di bawah Perlembagaan ini dikehendaki diperkenankan oleh Majlis Raja-Raja atau dikehendaki dibuat oleh atau selepas berunding dengan Majlis Raja-Raja;
  • melantik anggota Mahkamah Khas di bawah Fasal (1) Perkara 182;
  • memberi ampun, tunda hukum dan lega hukum, atau meremitkan, menggantung atau meringankan hukuman, di bawah Fasal (12) Perkara 42 (Perkara 38) (2).

Anggota Majlis Raja-Raja mempunyai budi bicara yang berikut:
  • memilih Yang di-Pertuan Agong atau memecat Yang di-Pertuan Agong daripada jawatannya, atau memilih Timbalan Yang di-Pertuan Agong;
  • memberikan nasihat mengenai apa-apa pelantikan;
  • memperkenankan atau tidak memperkenankan apa-apa undang-undang yang mengubah sempadan sesuatu Negeri atau yang menyentuh keistimewaan, kedudukan, kemuliaan atau kebesaran Raja-Raja;
  • mempersetujui atau tidak mempersetujui supaya apa-apa perbuatan, amalan atau upacara agama diperluas ke Persekutuan secara menyeluruh; (e) pelantikan anggota Mahkamah Khas di bawah Fasal (1) Perkara 182; atau
  • memberi ampun, tunda hukum dan lega hukum, atau meremitkan, menggantung atau meringankan hukuman, di bawah Fasal (12) Perkara 42 (Perkara 38 (6)).

·         Majlis ini bersidang sebanyak tiga atau empat kali setahun, selama tiga hari. 

Raja-raja dan Yang di-Pertua Negeri diiringi oleh Menteri Besar atau Ketua Menteri.

Persidangan dipengerusikan oleh raja yang terkanan dan setiausahanya ialah Penyimpan Mohor Besar Raja-Raja.