Materi Kuliah Ke-2, Sosiolinguistik II Oleh: Sailal Arimi, S.S.,
M.Hum
|
TIU:
Mengambil manfaat studi Sosiolinguistik pada realitas kehidupan sosial di
masyarakat, dapat menjelaskan hubungan antara bahasa dan masyarakat dan mampu
melakukan penelitian sederhana di bidang ini.
TIK:
Memahami konsep masyarakat bahasa dalam perspektif etnografi komunikasi,
memahami klasifikasi etnografi berbicara, memahami satuan-satuan interaksi
sosial.
TOPIK:
MASYARAKAT BAHASA DAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI
1. Masyarakat Bahasa dan Redefinisinya
Salah
satu asumsi pokok kelahiran Sosiolinguistik sebagai cabang ilmu Bahasa adalah
bahwa masyarakat bahasa bersifat
heterogen, baik antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa
lainnya, atau pula di antara anggota dalam masyarakat bahasa yang sama.
Heterogenitas itu ditandai oleh berbagai perbedaan sosial seperti status
sosial, peran sosial, jenis kelamin, umur, latarbelakang etnik, lingkungan,
pendidikan, dan agama. Ada
perkembangan yang cukup berarti setelah dua dekade belakangan ini mengenai
batasan masyarakat bahasa. Bagi Dell Hymes (1972), masyarakat bahasa adalah
semua anggota masyarakat tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara
bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu
variasi bahasa yang sama. Hymes memandang bahwa syarat aturan (rules) dan variasi (variety) yang sama harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat,
jika ia ingin diakui dalam lingkup masyakarakat bahasa yang sama.
Pandangan
di atas mulai bergeser ketika orang sudah dapat mengerti satu sama lain
walaupun mereka menggunakan aturan dan variasi yang berbeda. Pergeseran ini
terjadi akibat desakan zaman yang umum dikenal sebagai globalisasi atau pensejagatan
yang benar-benar tidak terbendung lagi. Penduduk dengan segala atribut yang
mengikutinya, tidak terkecuali bahasa, berpindah secara geografis atau maya
dalam ruang yang nyaris tidak berbatas. Teknologi transportasi yang canggih
telah memudahkan orang berpindah tempat, dan teknologi maya yang super canggih
telah pula memudahkan orang untuk berkomunikasi tanpa harus bergerak dari
tempat tinggalnya. Web pengetahuan bahasa lokal, regional, maupun internasional
semakin bertambah dalam pikiran orang-orang yang menggunakan jasa teknologi di
atas, bahkan orang-orang semacam ini semakin lama semakin banyak jumlahnya.
Walaupun realitas akan terus bergerak, namun definisi masyarakat bahasa pun
sewajarnya diredefinisi seperti dikemukakan Spolsky (2003: 24) bahwa
aturan-aturan itu bisa saja sama atau berbeda. Baginya, ketika semua orang
berbicara dalam satu bahasa dengan menggunakan fonologi dan tatabahasa yang
sama atau berbeda secara bersama-sama, ketika itu mereka dapat dikategorikan
sebagai satu kelompok masyarakat bahasa. Tentunya bahasa yang digunakan tidak
menjadi kendala terhadap pemahaman mereka satu sama lain.
Batas-batas
yang semakin mencair sebenarnya menyulitkan orang untuk mengidentifikasi secara
persis si A termasuk anggota masyarakat bahasa A, dan si B termasuk anggota
masyarakat B karena fenomena seseorang menjadi multilingual sekaligus
multikultural sekarang ini sangat mungkin terjadi. Fenomena yang terus bergulir
ini semakin menemukan titik terang terhadap asumsi awal kaum sosiolinguis yang
bersikukuh bahwa masyarakat bahasa tidak pernah ideal dalam sifat kehomogenan,
sebaliknya masyarakat bahasa selalu heterogen, bahkan mutlak heterogen.
Yang
menarik dari heterogenitas itu adalah bahwa realitas perbedaan sosial memberi
atau memperoleh dampak pemakaian bahasa. Semua dampak yang ditimbulkan dalam
pemakaian bahasa ini dipelajari dalam kerangka etnografi komunikasi. Dalam
studi sosiolinguistik, etnografi komunikasi ini merupakan akses untuk meneliti
fenomena kebahasaan lebih mendalam karena dalam upaya pemerian komunikasi
inilah terkandung unsur-unsur bahasa yang dituturkan secara alami (naturally occuring language) berikut
dengan segenap konteks yang mempengaruhinya. Clifford Geertz, antropolog dunia
yang terkenal karena banyak penelitiannya dilakukan di Jawa, menyatakan bahwa
untuk memahami sebuah ilmu yang pertama harus diamati bukanlah teori-teori atau
hasil penemuannya, bukan pula pembelaannya, tetapi lihatlah apa yang dilakukan
oleh pemakai ilmu itu. Apa yang dilakukan mereka adalah etnografi. Dalam
konteks ilmu antropologi, etnografi yang dimaksud adalah sebuah deskripsi
perilaku dalam sebuah kebudayaan tertentu yang dihasilkan dari kerja lapangan (fieldwork). Lebih spesifik, Geertz
berpendapat bahwa etnografi adalah upaya menginterpretasikan makna suatu
perilaku yang mengacu pada pengelompokan budaya tempat perilaku itu dihasilkan,
dirasakan, dan ditafsirkan. Konsep-konsep ini tentunya sangat bermanfaat
menjadi dasar dalam kajian Sosiolinguistik berikutnya.
2. Etnografi Komunikasi dan
Etnografi Berbicara
Sebelum istilah etnografi komunikasi
semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian
pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak
hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking),
tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing)
serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan
tubuh (kinesics), atau tanda (signing). Pemakaian tuturan Apa khabar?, Comment alle vous? (bahasa Perancis), Hoe gaat het? (bahasa Belanda) dengan arti yang sama tentu saja
berbeda modus kemunculannya dengan tuturan Dengan
hormat, Dear Sir, Beste Meneer, Hormat kami, sincerely yours. Kelompok
tuturan pertama terjadi dalam modus lisan, sebaliknya kelompok tuturan kedua
hanya muncul dalam modus tulis. Kedua modus ini juga sangat berbeda dengan
modus komunikasi isyarat, bahasa tubuh atau tanda yang menggunakan anggota badan
atau alat. Orang Indonesia akan menganggukkan kepalanya untuk menyatakan
makna setuju, tetapi orang India
justru mengayunkan kepala dengan membentuk gerakan angka 8 untuk makna yang
sama. Orang Tibet menggesek-gesekkan
hidungnya dengan hidung teman untuk menyatakan selamat datang, sedangkan orang Indonesia melakukan hal yang sama
dengan saling berjabat tangan. Menariknya lagi, Orang Tibet akan menjulurkan lidahnya sebagai sapaan
untuk menyambut tamu, yang bagi orang Indonesia tindakan demikian
diartikan mengejek. Sebaliknya sapaan untuk menyambut tamu orang Indonesia
menyatakan selamat datang sambil mempersilahkan masuk dan seterusnya. Kalau orang Indonesia menjulurkan tangannya ke
bawah sambil berjalan membungkukkan badan pertanda ia meminta permisi untuk
minta lewat di hadapan orang lain, tetapi bagi orang Arab, mereka justru
memegang kepala orang yang dilewatinya. Orang Jepang menggenggam keempat
jemarinya kecuali kelingking untuk menyatakan makna perempuan, sebaliknya orang
Indonesia
mengartikan tindakan demikian sebagai pernyataan anggap remeh atau enteng
terhadap seseorang atau sesuatu hal.
Di
samping contoh-contoh di atas, tentunya masih banyak lagi komunikasi nonverbal
yang terdapat sebuah masyarakat bahasa.
Hampir semua anggota badan dapat mengkomunikasikan makna tertentu sesuai
dengan apa yang dipahami masyarakatnya. Demikian pula pemakaian alat atau
benda-benda juga memberi arti tersendiri bagi sebuah masyarakat tertentu.
Pakaian berwarna putih yang dikenakan seorang perempuan india misalnya dimaknai sebagai
pernyataan ditinggal mati sang suami. Penggunaan pluit untuk mengirimkan pesan
morse juga termasuk dalam kategori ini.
Perbedaan
mendasar antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dalam hal komunikasi
lisan, tulis, isyarat, gerakan tubuh, dan tanda turut membangun kaidah-kaidah
bahasa. Selain itu, prinsip dasar etnografi komunikasi juga memerikan perbedaan
aturan berbicara (rule of speaking),
misalnya kapan harus berbicara dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Aturan
berbicara ini bisa sangat berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan
lainnya. Kebanyakan Orang Amerika Kulit
Putih Kelas Menengah mematuhi kaidah pergantian percakapan “no gap, no overlap” (tidak ada
kesenyapan, tidak ada tumpang tindih) (Schegloff, 1972). Dalam sebuah
percakapan, mereka berbicara saling bergantian agar tidak tumpang tindih. Jika
yang satu berbicara, yang lain mendengarkan. Kaidah percakapan ini disebut “no overlap.” Sebaliknya, jika keduanya
diam lebih dari beberapa detik, mereka justru
tidak merasa nyaman. Seseorang akan mengisinya dengan percakapan yang tidak
penting agar “tidak ada gap” dalam
komunikasi tersebut. Reisman (1974)
menemukan kaidah yang berbeda pada masyarakat
Antigua . Mereka cenderung berbicara saling
tumpang tindih. Yang satu berbicara yang lain menimpali pada saat yang sama.
Dengan cara ini, mereka tidak mengikuti kaidah percakapan yang “no overlap.” Saville-Troike (1982) melaporkan bahwa orang
Indian Amerika justru biasa menunggu beberapa menit sebelum seseorang
menjawab pertanyaan atau mengambil alih pembicaraan. Demikian pula halnya
dengan masyarakat Lapp di Swedia Bagian
Utara tempat Reisman (1974: 112) tinggal.
Gap percakapan sudah menjadi bagian dari cara berbicara mereka.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
etnografi komunikasi adalah semua bentuk pemerian komunikasi yang bermakna baik
menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal.
Dalam kajian kebahasaan pada umumnya, hanya tuturan verbal yang diperlakukan
sebagai objek kajian sedangkan sisanya dianggap sebagai konteks. Pemerian
pemakaian tuturan verbal saja disebut etnografi berbicara, dalam hubungan ini
modus komunikasi tulis juga dikategorikan objek kajian sosiolinguistik karena
media cetak juga memberi perbedaan pada pemakaian bahasa. Dalam wacana yang
lebih umum, bahasa tulis, kendatipun berbeda, sebenarnya merupakan bentuk
pencatatan dari komunikasi lisan. Dewasa ini etnografi komunikasi boleh saja dipandang
sebagai bentuk perluasan dari etnografi berbicara, namun aspek-aspek nonverbal tadi
sekali lagi hanya diperlakukan sebagai konteks yang mempengaruhi makna tuturan.
Akibatnya, aspek-aspek nonverbal tersebut tidak menjadi tujuan dalam penelitian
sosiolinguistik.
Menurut Hymes (1962/1968: 101), ada
empat hal pokok yang diuraikan dalam sebuah etnografi berbicara, yaitu pemerian
situasi, pemakaian, struktur, dan fungsi aktivitas berbicara tersebut. Namun
demikian, di balik pendekatan struktural-fungsional yang disarankan Hymes
tersebut, hakikat etnografi bagi Milroy (1987: 172) bertujuan menyelidiki
aturan-aturan berbicara (rules of
speaking). Aturan-aturan berbicara ini dianalisis berdasarkan faktor-faktor
situasional yang mempengaruhi pemilihan kode bahasa.
Aturan berbicara (rules of speaking) sebaiknya dibedakan
dengan norma bicara (norms of speaking).
Walaupun keduanya menjadi lahan pemerian sebuah pendekatan etnografi, namun
fungsinya bagi pemakai bahasa juga berbeda.
Norma berbicara sesuai namanya dapat dipahami sebagai etika yang
membatasi bagaimana komunikasi yang diinginkan, tepat atau tidak tepat, pantas
atau tidak pantas sesuai konteksnya. Oleh karena itu, norma berbicara
diperlukan pemakai bahasa sebelum berbicara, dan norma ini menjadi pengetahuan
praktis pemakainya. Di sisi lain, aturan berbicara merupakan hasil akhir kajian
terhadap aktivitas berbicara. Sebagaimana ditandaskan sebagai tujuan etnografi
bagi Milroy, norma menjadi bersifat teoretis dan ia berada di luar kemampuan
pemakaian bahasa. Dengan kata lain, norma berbicara adalah aspek internal
bahasa, sedangkan aturan atau kaidah bahasa merupakan aspek eksternal bahasa.
Disimak dari teori fungsi yang
banyak dikemukakan para ahli, fungsi bahasa terpokok dapat diperas menjadi dua,
yaitu fungsi interaksional dan fungsi ideasional, yang pertama berfungsi untuk
membina atau mempertahankan hubungan sosial dan yang terakhir berfungsi untuk
menyampaikan informasi atau gagasan. Sejalan dengan dengan fungsi bahasa
ini, aktivitas berbicara seyogyanya pula
dapat diformalkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk fatis dan bentuk pikiran.
Klasifikasi dikotomis semacam ini tidak bertentangan dengan pendapat Bronislaw
Malinowski (1949) yang mengatakan bahwa aktivitas berbicara yang pertama lebih
menekankan pada modus aksi (mode of
action), sedangkan aktivitas berbicara yang kedua cenderung menekankan
modus kognisi (mode of thought).